BP Batam Perlu Turun Tangan, Sekelompok Oknum Hentikan Alat Berat PT.Central Group

BATAM, BUANATODAY.COM – Setelah memblokir dengan cara memagar jalan ke lokasi proyek pembangunan perumahan Central Hills oleh sekelompok oknum beberapa waktu lalu, Rabu siang (9/2/2022) terjadi lagi penghentian alat berat oleh oknum yang sama.

Pantauan media ini di lokasi, Rabu (9/2/2022) sekelompok oknum yang mengklaim lahan PT.MGL sebagai miliknya, bersikeras supaya pengerjaan proyek pembangunan perumahan dihentikan. Alasannya, pihaknya melalui pengacara masih berunding di Jakarta dengan pihak PT.MGL.

Sementara pihak pengembang PT.Central Group berusaha meyakinkan, bahwa perusahaan melakukan pekerjaan atas dasar legalitas yang sah dimana PT.MGL adalah sebagai pemilik lahan dengan bukti sertifikat yang dimiliki sebagai mitra dari pengembang PT.Central Group.

Sebagaimana diberitakan  media ini, Senin (7/2/2022) terjadinya konflik lahan perumahan ini diduga permainan dari mafia lahan untuk menghambat proyek pembangunan perumahan dimana aksi pemblokiran terjadi dengan cara memagar jalan ke lokasi proyek pengembang PT.Central, sehingga pengerjaan proyek terkendala. Dan konflik lahan perumahan ini terjadi lagi, Rabu (9/2/2022) akibat ulah sekelompok oknum yang menghentikan pengerjaan proyek pembangunan perumahan, yakni menyetop alat-alat berat PT.Central Group yang sedang beraktivitas. Bahkan terjadi ketegangan dan nyaris bentrok fisik antara pekerja dan security perusahaan dengan sekelompok oknum yang mengaku-ngaku sebagai pemilik lahan. Namun, pihak perusahaan pengembang berusaha menahan diri dan tidak terpancing provokasi, sehingga bentrok fisik tidak terjadi.

Pengamatan media ini, perdebatan antara pihak yang mewakili perusahaan pengembang dengan sekelompok oknum yang mengaku-ngaku sebagai pemilik lahan itu tidak terjadi titik temu. Pasalnya, sekelompok oknum yang mengaku-ngaku sebagai pemilik lahan itu bersikeras agar pengerjaan proyek pembangunan perumahan dihentikan menunggu hasil perundingan yang sedang berlangsung di Jakarta. Namun, pihak perusahaan pengembang berkali-kali meyakinkan, bahwa PT.MGL adalah pemilik lahan yang sah berdasarkan sertifikat yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) setelah melalui  proses panjang, yakni mengajukan permohonan ke BP Batam, sehingga BP Batam mengalokasikan lahan kepada PT.MGL, dan selanjutnya BP Batam menerbitkan PL, lalu menerbitkan faktur pembayaran UWTO, dan akhirnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan sertifikat. Namun, belakangan muncul oknum yang mengaku-ngaku sebagai pemilik lahan yang telah 16 tahun memiliki lahan tersebut.

Terjadinya konflik yang tak kunjung berakhir ini, maka pihak perusahaan pengembang merasa sangat dirugikan, dan meminta kepada oknum yang mengaku sebagai pemilik lahan supaya tidak menghalang-halangi pekerjaan di lokasi proyek pembangunan perumahan. “Jika memang merasa sebagai pemilik lahan, supaya mengajukan keberatan ke BP Batam dan ke BPN yang telah menerbitkan sertifikat,” ujar pihak perusahaan pengembang itu.

Namun herannya, oknum yang mengaku-ngaku sebagai pemilik lahan itu bersama kelompoknya tidak mau berurusan dengan BP Batam maupun Badan Pertanahan Nasional (BPN). Seharusnya, oknum yang mengaku-ngaku sebagai  pemilik lahan itu mengajukan tuntutan ke BP Batam maupun Badan Pertanahan Nasional  (BPN) yang telah  menerbitkan sertifikat. Namun, oknum yang mengaku-ngaku sebagai pemilik lahan itu tidak pernah melakukannya. Hanya saja ada pengakuan dalam adu argumen, bahwa  oknum yang mengaku-ngaku sebagai pemilik lahan itu pernah mengajukan permohonan untuk pembayaran UWTO lahan tersebut, namun BP Batam menolaknya. Dengan adanya pengakuan oknum ini,  tentu, BP Batam memiliki dasar kuat untuk menolak permohonan yang diduga tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan sebagai pemilik lahan. Kemudian setelah terjadi adu argumen yang alot, oknum yang mengaku sebagai pemilik lahan dengan kelompoknya itu mengatakan agar pekerjaan atau seluruh kegiatan di lokasi pembangunan perumahan itu dihentikan dengan alasan ada beberapa area yang belum sah menjadi milik PT.MGL, yakni posisinya di arah bukit. Namun, pihak perusahaan pengembang menjelaskan, hanya bukit itu  yang belum sah menjadi milik perusahaan pengembang, sebab sedang dalam proses mendapatkan legalitas sertifikat. Akhirnya kesepakatan di kedua belah pihak pun terjadi, yakni area lain bisa dikerjakan kecuali area bukit yang sertifikatnya masih dalam pengurusan itu.

Dari peristiwa pemagaran dan percobaan penghentian pengerjaan pembangunan yang dilakukan sekelompok oknum itu, tentu sangat merugikan pihak perusahaan pengembang.

(foto: ist)

 

(foto: ist)

(foto: ist)

Juga dari  segi waktu, proses pengerjaannya menjadi lama dan biaya yang harus dikeluarkan jadi membengkak hanya untuk mengurusi hal-hal yang tidak perlu.

Terjadinya konflik antara perusahaan pengembang dengan sekelompok oknum itu sangat disesalkan dan bisa menghambat roda pembangunan di Batam yang selama ini digembor-gemborkan sebagai lokomotif untuk memajukan perekonomian nasional. Namun sebaliknya, jika ditelisik dari kasus per kasus yang sering dihadapi perusahaan pengembang di Batam, maka bisa membuat investor atau calon perusahaan pengembang enggan berinvestasi di Batam.

Berbagai kalangan berharap, BP Batam sudah saatnya turun tangan menangani langsung jika terjadi permasalahan yang dialami perusahaan pengembang, sebagaimana kini dialami PT.Central Group dan pemilik lahan PT.MGL. Bukankah BP Batam sebagai pengelola yang mengalokasikan lahan kepada investor harus bertanggungjawab untuk kenyamanan investor berinvestasi? Kemudian oknum yang mengaku-ngaku sebagai pemilik lahan dan pengacaranya itu seharusnya terlebih dahulu mengajukan keberatan dan tuntutan kepada BP Batam sebagai pengalokasi lahan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai penerbit sertifikat.

Dan juga perlu dipertanyakan ihwal tuntutan jumlah ganti rugi sebesar Rp250.000 per meter yang diajukan oleh oknum yang mengaku-ngaku sebagai pemilik lahan itu sangat tidak logika. Apakah Peraturan Kepala (Perka) BP Batam mencantumkan tarif Rp250.000 per meter untuk ganti rugi atau uang sagu hati dan harus dibayarkan perusahaan pengembang kepada yang menempati lahan yang akan dibangun? Sebagaimana diketahui, perusahaan pengembang PT.Central Group telah bersedia meberikan uang sagu hati sebesar Rp300 juta kepada sekelompok oknum yang mengaku-ngaku sebagai  pemilik lahan itu.

Jika konflik lahan perumahan dibiarkan terjadi sebagaimana dialami PT.Central Group dan pemilik lahan PT.MGL ini, maka ditengarai BP Batam terkesan lepas tangan seolah-olah membiarkan oknum dan kelompoknya yang mengaku-ngaku sebagai pemilik lahan itu akan terus-menerus berkonflik dan berseteru dengan PT.Central Group dan PT.MGL. Terlebih kabarnya, perusahaan pengembang PT.Central Group telah menginformasikan peristiwa konflik lahan perumahan itu kepada BP Batam, namun BP Batam tidak pernah turun langsung ke lokasi yang menjadi persoalan konflik yang tak kunjung berakhir ini. (RED)